Di era globalisasi, kompetisi di berbagai bidang pekerjaan semakin ketat. Tiap-tiap profesi mencoba meningkatkan eksistensinya pada kebutuhan masyarakat akan jasa profesi tersebut. Kondisi ini berdampak balik kepada profesi yang bersangkutan untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan pada masyarakat. Untuk itu maka di era globalisasi ini kompetensi anggota profesi merupakan kunci peningkatan kualitas layanan.
Profesi kependidikan tentunya memiliki seperangkat kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Kompetensi-kompetensi tadi diejawantahkan dalam program pendidikan dan latihan guru, yang berisi kajian-kajian kependidikan dalam rangka mencapai kompetensi yang dikehendaki.
Profesi kependidikan merupakan salah satu mata kuliah dalam rumpun MKDK (Mata Kuliah Dasar Kependidikan). Pengalaman penulis dalam membina guru-guru, menunjukan bahwa kebutuhan mahasiswa akan sumber belajar terutama buku acuan sangatlah penting. Maka dari itu penulis menyusun buku Profesi Pendidikan dalam Perspektif Manajemen Pendidikan yang dihimpun berdasarkan pengalaman penulis, serta teori-teori yang umum diterima sebagai kebenaran dalam kependidikan. Akhirnya penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dalam rangka perbaikan buku ini di masa yang akan datang, dan semoga ini dapat bermanfaat bagi semua, Amin.
Keresahan Guru menghadapi berbagai perubahan kurikulum yang terlalu sering, merupakan sesuatu yang sangat wajar. Wajar, karena Guru tidak bisa bersikap 'masa bodoh' terhadap perubahan itu. Kurikulum merupakan bagian penting dari tugas seorang Guru. la menjadi arah sekaligus tujuan dari semua proses pembelajaran. Kemana para siswa akan dibawa dan diarahkan, semuanya ada di dalam kurikulum tersebut.
Oleh karena itu terlalu seringnya perubahan kurikulum terjadi, membuat mereka bertanya-tanya, apakah si pengubah paham benar terhadap proses pembelajaran di sekolah "Indonesia'? Apakah dengan kurikulum yang baru, diprediksi akan memperbaiki kualitas pendidikan? Apakah sudah dipikirkan, ketika mengubah kurikulum (semua maupun sebagian), ia harus mengubah 2,7 juta cara berpikir guru? Dianggap sedemikian sederhanakah mengubah 2,7 juta orang itu? Sadarkah bahwa buku-buku kurikulum yang terdahulu pun belum semua sekolah memilikinya? Sadarkah bahwa 'sekedar' mendistribusikan buku-buku kurikulum itupun suatu kesulitan yang tidak mudah dipecahkan dan butuh biaya yang besar? Sadarkah bahwa dengan kurikulum yang baru, berarti biaya baru, distribusi baru, kesulitan baru, mengubah cara berpikir baru, kecemasan baru, kekecewaan baru, yang semua itu menjadi 'barrief baru bagi pendidikan kita?
Sudah seharusnya para perancang dan pengubah kurikulum berpikir dengan spektrum seperti itu, sehingga perubahan demi perubahan bukan hanya sesuatu yang sia-sia. Perubahan yang dilakukan tanpa diiringi dengan perubahan sikap dan perilaku di lapangan, hanyalah sesuatu yang sia-sia belaka. Perlu diperhatikan bahwa kebijakan perubahan harus diyakini dapat dilaksanakan di lapangan.
Kualitas pendidikan kita 'rendah' adalah sjatu bukti bahwa kurikulum tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan. Kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984. Bagaimana hasilnya? Tidak ada studi yang signifikan untuk itu. Kurikulum 1984 diganti lagi dengan kurikulum 1994, bagaimana hasilnya? Kurikulum suplemen bagi kurikulum 1994, bagaimana pula hasilnya? Dari kurikulum 1994 diganti lagi dengan kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Sudah adakah studi yang komprehensif tentang ini? Sudahkah hasil studi ini diketahui oleh para guru, di mana titik lemah dan sisi kekuatan dari kurikulum-kurikulum tersebut? Tanpa hasil yang jelas dan diketahui oleh para guru, maka semua perubahan itu hanya akan membuat kesia-siaan yang panjang.
Jangan berpikir bahwa perubahan itu cukup dilakukan di Jakarta, seakan sudah mewakili Indonesia. Pendidikan di Jakarta 'bukan' sebagai representasi pendidikan Indonesia. Kebijakan Jakarta yang tidak dapat dilaksanakan di daerah lain, itu hanya sebuah kesia-siaan. Yang dibutuhkan saat ini dan kedepan adalah konsistensi sikap dan kebijakan pemerintah dengan konsistensi pelaksanaannya di lapangan secara terukur, dengan memperhatikan berbagai standar yang ditetapkan untuk mendukung terlaksananya proses pendidikan secara baik. Konsistensi tersebut diharapkan dapat secara bertahap memperbaiki kinerja guru yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Etos kerja para guru dan insan pendidikan pada umumnya kurang menggembirakan, mengingat imbalan yang kurang menarik, sehingga rata-rata kehidupan mereka dalam kondisi yang kurang sejahtera. Ketimpangan sosial ekonomi antara guru dan pegawai lainnya, menjadikan bidang pendidikan bukan pilihan utama untuk bekerja. Banyak di antara masyarakat yang tidak menginginkan anaknya menjadi guru, kecuali terpaksa. Ini sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh insan pendidik. Terjadi ketidak-adilan antara profesi dan kesejahteraan para pegawainya. Jika penghasilan rata-rata guru masih di bawah rata-rata 'tukang bakso dorongan' di perkotaan, sungguh hal ini keadaan yang sangat memilukan. Namun itu sebuah realitas yang dialami para guru Indonesia pada umumnya. Untuk menjadi guru yang 'cerdas', ada sebuah track yang harus dilalui secara benar oleh setiap guru, dengan prakondisi yang disediakan oleh pengambil kebijakan. Prakondisi tersebut seperti kebijakan perbaikan kesejahteraan guru, sarana dan kelengkapan kerja, sarana pendukung pendidikan di setiap sekolah, kurikulum yang mudah dilaksanakan guru. Setelah prakondisi ini tersedia, maka track yang harus dilewati para guru adalah kesungguhan untuk bekerja keras, tekun, dan ulet, yang berorientasi pada proses dan hasil kerja berkualitas. Parameter kualitas kerja guru harus dipahami setiap individu guru, sehingga mereka tahu persis apakah dirinya tergolong yang berkualitas atau tidak.
Budaya 'malu' bekerja jelek harus ditumbuhkan di kalangan mereka, sehingga kualitas kerja menjadi target setiap guru dalam melaksanakan tugas. Guru yang bekerja di bawah target minimal harus mau berusaha dan bekerja lebih keras dibandingkan guru lainnya. Kebiasaan seperti ini penting agar semua guru mengacu pada standar kerja minimal yang berkualitas. Kondisi ini yang belum lazim di negeri kita. Apapun yang dilakukan guru selama ini dianggap sudah cukup, padahal mungkin di bawah yang seharusnya dilakukan. Inilah kesalahan perilaku guru dalam mendidik dan mengajar di sekolah selama ini, sehingga pendidikan kita seperti yang kita saksikan sekarang. Memang, fenomena itu bukan maunya guru, tetapi faktor keadaan yang memaksa guru berperilaku seperti itu.
Buku ini saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan teman-teman guru Indonesia. Tidak ada maksud mengkritik guru, tetapi mengemukakan fakta yang sama-sama kita alami. Ketika guru mengalami situasi yang kurang menyenangkan, sebagai pendidik yang sampai saat ini masih aktif bergelut di lapangan, sayapun merasakan apa yang oleh teman-teman guru rasakan. Dan terus mencoba sharing untuk memperbaiki keadaan itu.
Saya ingin menyampaikan terimakasih kepada teman-teman guru Indonesia, terlebih yang sering dijadikan responden dalam berbagai penelitian pendidikan, dengan berbagai informasi itu pula, tulisan ini disusun.
Mudah-mudahan ini dapat memenuhi harapan untuk memberikan sumbang saran pemikiran dalam memperbaiki pendidikan dan proses pembelajaran di negeri tercinta ini
Wassalam, Penulis
Bedjo Sujanto
Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak 2001. Bersamaan dengan itu, maka hampir semua bidang pembangunan juga diotonomikan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Otonomi di bidang pendidikan, dilakukan secara berjenjang, yakni dimulai pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah. Pada pembahasan ini, akan ditinjau pada tingkat sekolah dan dinas pendidikan kabupaten-kota. Otonomi pada tingkat sekolah, sering dikenal dengan manajemen pendidikan berbasis sekolah atau manajemen berbasis sekolah (MBS).
MBS merupakan model manajemen yang memberikan kewenangan lebih besar kepada sekolah. Sebenarnya secara faktual di sekolah, otonomi akademik mesti ada pada sekolah dan lebih khusus lagi ada pada pendidik sebagai ilmuwan. Namun MBS memberikan otonomi yang meliputi akademik, pengelolaan sarana-prasarana, pengembangan staf, hubungan masyarakat, dan pengelolaan siswa. Hanya bidang keuangan yang otonominya tidak penuh, mengingat sumber keuangan dari pemerintah untuk sekolah negeri, dan dari dana masyarakat bagi sekolah-sekolah swasta. Dengan demikian sebenarnya tidak ada alasan sedikitpun bagi sekolah untuk tidak tumbuh dengan baik, atau sekolah dengan kualitas tidak baik. Semua kebebasan dalam pengelolaan sumber daya diberikan kepada sekolah. Peranan pemerintah hanya menjadi fasilitator, serta menyediakan sumber dana pendidikan. Disamping ada berbagai pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, Kepala sekolah dapat secara kreatif dan cerdas mencari cara yang paling tepat untuk memajukan sekolah yang dipimpinnya. Bahkan saat ini pemerintah memberikan otonomi kepada sekolah untuk dapat menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, yang dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Artinya, sekolah dapat dengan leluasa menyiapkan bahan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, serta sesuai dengan sumberdaya yang ada di sekolah dan sekitarnya.
Sekolah-sekolah yang menjadi pilihan masyarakat, yakni sekolah yang memiliki kualitas lulusan yang 'dinilai' baik oleh masyarakat. Untuk mewujudkan sekolah demikian dibutuhkan kepala sekolah yang cerdas, memiliki komitmen tinggi terhadap lembaganya, dengan motivasi kerja yang kuat, ulet dan tekun, sehingga tidak mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Seorang yang mempunyai motivasi kerja kuat dan memiliki komitmen tinggi dalam tugas, akan berani melakukan terobosan untuk melakukan inovasi, apa bila menghadapi kemandegan.
Sudah banyak ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang berhasil dengan baik, mereka dapat secara kreatif melakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Untuk sekolah negeri masih harus berjuang, agar dapat memperoleh otonomi penuh dalam mengelola sekolah, sebagaimana sekolah-sekolah swasta yang disebutkan di atas. Namun dapatkah otonomi akademik ini didapat oleh sekolah negeri? Hal ini sangat tergantung dari kearifan para birokrasi pendidikan, apakah mereka dapat mempercayai institusi sekolah binaannya.
Perlu komitmen yang sungguh-sungguh dari para pejabat pendidikan dan para guru, kepala sekolah, pengawas, orangtua, dan para siswa untuk secara sinergi bekerja terbaik yang dapat diusahakan dengan sikap jujur dan arif. Tanpa itu semua, kegiatan yang kita lakukan menjadi kurang maksimal.
Semoga tulisan ini bermanfaat!
Dalam organisasi modern, manajemen kantor merupakan salah satu aspek yang menentukan tercapainya efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari fungsi manajer dalam mengelola organisasi yakni; mengelola Keuangan, metode, perlengkapan, kepegawaian, perkantoran, pemasaran dan hubungan masyarakat.
Sering terjadi dalam organisasi, manajemen kantor dianggap sebagai sesuatu kegiatan yang kurang penting, sehingga kurang perhatian para manajer terhadap kegiatan kantor. Akibat kurangnya perhatian manajer terhadap manajemen kantor sering ditemui masalah-masalah teknis yang dapat menghambat pencapaian efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan organisasi. Selama ini telah banyak penulis asing maupun dalam negeri memberikan pemikiran tentang manajemen kantor dengan lahirnya bermacam-macam buku manajemen perkantoran.
Apabila dilihat dari pembahasannya lebih banyak kepada bagaimana menggunakan sarana dan prasarana perkatoran dan sedikit sekali yang membahas bagaimana peranan manusia dalam penyelenggaraan manajemen perkantoran. Oleh sebab itu penulis mencoba untuk membahas dalam buku Ini tentang peranan sumberdaya manusia dalam penyelenggaraan kegiatan perkantoran. Buku ini dapat digunakan oleh manejer organisasi di lapangan dan juga dapat digunakan mahasiswa untuk memperkaya konsep dan pemikiran dalam hal mengembangkan manajemen kantor di bangku perkuliahan.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, penulis mohon kritikan dan saran demi kesempurnaan buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar